Senin, 16 Maret 2009

Sensitif Terhadap Waktu

Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda kebodohan yang
memengaruhi jiwa (Ibnu Atha’ilah) Sesungguhnya waktu akan menghakimi orang yang menggunakannya. Saat
kita menyia-nyiakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang sia-sia.
Saat kita menganggap waktu tidak berharga, maka waktu akan menjadikan kita manusia tidak berharga. Demikian
pula saat kita memuliakan waktu, maka waktu akan menjadikan kita orang mulia. Karena itu, kualitas seseorang
terlihat dari cara ia memperlakukan waktu.
Allah SWT menegaskan bahwa orang rugi itu bukan orang yang kehilangan uang, jabatan atau penghargaan.
Orang rugi itu adalah orang yang membuang-buang kesempatan untuk beriman, beramal dan saling
nasihat-menasihati (QS Al Asher [103]: 1-3).



Menunda amal
Ciri pertama orang merugi adalah gemar menunda-nunda berbuat kebaikan. Ibnu Athailah menyebutnya sebagai
tanda kebodohan, “Menunda amal kebaikan karena menantikan kesempatan yang lebih baik adalah tanda
kebodohan yang memengaruhi jiwa.
Mengapa orang suka menunda-nunda?
Pertama, ia tertipu oleh dunia. Ia merasa ada hal lain yang jauh berharga dari yang semestinya dilakukan. Tetapi
kamu (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedang kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal.
Demikian firman Allah dalam QS Al A’laa [87] ayat 16-17.
Kedua, tertipu oleh kemalasan. Malas itu penyakit yang sangat berbahaya. Orang malas tidak akan pernah meraih
kemuliaan di dunia dan akhirat. Tidak ada obat paling manjur mengobati kemalasan, selain mendobraknya dengan
beramal.
Ketiga, lemah niat dan tekad, sehingga tidak bersungguh-sungguh dalam beramal. Salah satunya dengan terus
menunda. Seorang pujangga bersyair, Janganlah menunda sampai besok, apa yang dapat engkau kerjakan hari
ini. Juga, Waktu itu sangat berharga, maka jangan engkau habiskan kecuali untuk sesuatu yang tidak berharga.
Tidak sensitif terhadap waktu
Ciri kedua, tidak sensitif terhadap waktu. Islam memerintahkan kita untuk sensitif terhadap waktu. Dalam sehari
semalam tak kurang lima kali kita diwajibkan shalat. Sehari semalam, lima kali Allah SWT mengingatkan kita akan
waktu. Shalat pun akan bertambah keutamaannya bila dilakukan di masjid, berjamaah dan tepat waktu. Karena
itu, orang-orang yang mendirikan shalat, pasti memiliki manajemen waktu yang baik.
Sesungguhnya, kita hanya akan perhatian terhadap sesuatu yang kita anggap penting. Demikian pula dengan
waktu. Jika kita menganggap waktu sebagai modal terpenting, maka kita akan sangat sensitif dan perhatian
terhadapnya. Kita tidak akan rela sedetik pun waktu berlalu sia-sia. Orang yang perhatian terhadap waktu terlihat
dari intensitasnya melihat jam. Ia sangat sering melihat jam. Ia begitu perhitungan, sehingga kerjanya efektif dan
cenderung berprestasi. Penelitian menunjukkan semakin seseorang perhatian dengan waktu, semakin berarti dan
efektif hidupnya. Ia pun lebih berpeluang meraih kesuksesan.
Orang sukses itu tidak sekadar punya kecepatan, namun ia punya percepatan. Kecepatan itu bersifat konstan atau
tetap, sedangkan percepatan itu menunjukkan perubahan persatuan waktu. Artinya, orang sukses itu senantiasa
melakukan perbaikan. Hari ini harus lebih baik dari hari kemarin. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah SAW
bahwa orang beruntung itu hari ini selalu lebih baik dari kemarin. Lain halnya dengan orang konstan; hari ini sama
dengan kemarin. Rasul menyebutnya orang rugi. Sedangkan orang yang hari ini lebih buruk dari kemarin disebut
orang celaka.
Saudaraku, orang yang memiliki percepatan, hubungan antara prestasi dengan waktu hidupnya menunjukkan
kurva L. Dalam waktu yang minimal, ia mendapatkan prestasi maksimal. Itulah Rasulullah SAW. Walau usianya
hanya 63 tahun, namun beliau memiliki prestasi yang abadi. Demikian pula para sahabat dan orang-orang besar
lainnya. Semuanya berawal dari adanya sensitivitas terhadap waktu.( KH Abdullah Gymnastiar )




Tidak ada komentar:

Posting Komentar