Sabtu, 21 Februari 2009

Harapan Mencapai Swasembada Beras

Harapan Mencapai Swasembada Beras
Dari Penanaman Padi Hibrida

Oleh : Sumarno

Harapan untuk mencapai swasembada beras kini diperkuat oleh tersedianya padi
verietas hibrida yang mulai diperkenalkan ke petani sejak dua tahun terakhir.
Dengan menanam padi hibrida diharapkan peningkatan produksi beras nasional tidak
memerlukan investasi untuk peluasan lahan sawah yang biayanya mahal dan sering
menimbulkan konflik sosial maupun lingkungan. Pemerintah telah memfasilitasi
pengembangan areal penanaman hibrida dengan pelepasan beberapa varietas hibrida
baru, bantuan benih hibrida untuk petani, dan ijin impor benih padi hibrida dari luar
negeri. Pengusaha benih padi juga telah mulai bergerak untuk menyediakan benih
hibrida yang dijual dengan harga antara Rp 35.000/kg hingga Rp 50.000/kg.
Teknologi benih hibrida sebenarnya bukan hal baru bagi petani dan pembina pertanian
Indonesia, tetapi dalam hal hibrida padi, nampaknya diperlukan pemahaman yang lebih
spesifik. Di Indonesia benih hibrida telah lama ditanam petani pada komoditas jagung,
cabe, tomat, mentimun, melon, semangka, dan bahkan kelapa sawit dan kelapa. Benih
hibrida pertama kali diperkenalkan kepada petani di Amerika Serikat pada tahun 1920
untuk tanaman jagung. Sejak tahun 1950-an seluruh tanaman jagung di Amerika Serikat
telah menggunakan benih hibrida dan produktivitasnya meningkat 100% mencapai 9-11
t/ha biji kering. Di Indonesia benih jagung hibrida mula-mula diperkenalkan kepada
petani oleh Peneliti Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang pada tahun 1984. Tahuntahun
selanjutnya perusahaan benih jagung swasta mengambil alih kegiatan tersebut
dengan kontek pemasaran benih jagung hibrida. Diperlukan waktu sekitar 8-10 tahun
untuk meyakinkan petani bahwa benih jagung hibrida (yang harganya lima-enam kali
lipat harga benih jagung non hibrida), lebih menguntungkan karena produktivitasnya
yang tinggi. Kini setelah dua puluh tiga tahun sejak hibrida jagung diperkenalkan
kepada petani, baru sekitar 30% luas areal jagung di Indonesia menggunakan benih
jagung hibrida.
Pada tanaman jagung, kenaikan produktivitas hibrida atas hasil jagung non-hibrida
produktivitasnya mencapai 4 t/ha biji kering, jagung varietas hibrida dapat mencapai 7-8
t/ha biji kering. Beda hasil antara varietas hibrida dengan hasil varietas non-hibrida
tersebut disebut sebagai tingkat heterosis dari hibrida. Jadi pada tanaman jagung hibrida
tingkat heterosisnya dapat mencapai 75 hingga 100%. Tingkat heterosis hibrida jagung
yang tinggi tersebutlah yang menjadi alasan diadopsinya benih hibrida oleh petani,
walaupun harga benihnya jauh lebih mahal dibandingkan benih jagung non-hibrida.
Heterosis pada Hibrida Padi
Tanaman padi secara alamiah penyerbukan bunganya berbeda sekali dengan tanaman
jagung. Tanaman padi dalam membentuk gabah (biji) bunganya menyerbuk sendiri (self
pollination), sedangkan tanaman jagung bunganya menyerbuk silang (cross pollination).
Perbedaan cara penyerbukan tersebut sangat mempengaruhi konstruksi susunan genetis
tanaman yang bersangkutan. Pada tanaman yang bunganya menyerbuk sendiri seperti
pada padi, seluruh pasangan gen-gennya menjadi sama-sepadan atau dalam istilah
genetik disebut homozigot. Dalam pemberian kode genetik tanaman homozigot setiap
pasangan gennya dilambangkan dengan kode huruf yang sama, misalnya: AA, BB, dan
seterusnya. Pada tanaman yang bunganya menyerbuk silang seperti pada jagung, hampir
seluruh pasangan gen-gennya tidak sepadan atau disebut heterozigot, yang dikodekan
oleh huruf yang tidak sepadan, misalnya Aa; Bb; dan seterusnya. Pada tanaman jagung
non hibrida ternyata masih terdapat juga pasangan gen-gen yang sepadan, misalkan kk;
MM; dan seterusnya.
Teknologi hirida adalah upaya manusia untuk merekonstruksi seluruh pasangan gen
pada tanaman menjadi heterozigot, dengan jalan membuat benih berasal dari
persilangan. Dampak dari seluruh pasangan gen-gen yang heterozigot tersebut adalah
timbulnya gejala heterosis, yaitu produktivitas tanaman hibrida melebihi produktivitas
varietas non-hibrida (Pengertian ini sedikit disederhanakan, tetapi esensinya tetap benar).
Tanaman padi yang secara alamiah memiliki konstruksi gen-gen homozigot nampaknya
telah melakukan adaptasi, bahwa tanaman homozigot produktivitasnya cukup tinggi,
dan konstruksi heterozigot kurang dapat memacu timbulnya gejala heterosis yang terlalu
tinggi, seperti pada tanaman jagung. Hal ini bermakna, bahwa hibrida padi perbedaan
hasilnya tidak lebih banyak secara menyolok dibandingkan hasil non-hibrida.
Informasi umum tingkat heterosis pada padi hibrida adalah 15-20%, tetapi tidak dapat
dianggap sebagai angka pasti. Itu berarti, kadang lebih kecil, kadang bisa lebih tinggi
dari 15-20%. Sebagai gambaran, produksi rata-rata padi hibrida di negara-negara asia
(minus China) adalah 6,2 t/ha gabah kering, dan di China 7,3 t/ha gabah kering.
Produksi per ha hibrida IRRI di Philipina 7,2 t/ha dengan tingkat heterosis 9,4%, dan
calon hibrida padi terbaik produktivitasnya 8,7 t/ha gabah kering berdasarkan konversi
hasil plot 10 m2 menjadi ton/ha, dengan tingkat heterosis antara 10% sampai 20%. Hasil
percobaan padi hibrida di Indonesia yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Padi
Sukamandi adalah 6 sampai 9 ton/ha gabah kering. Dari data tersebut terlihat bahwa
tingkat heterosis padi hibrida tidak terlalu tinggi, dan produktivitasnya pun tidak sangat
mengagumkan, karena varietas unggul non-hibrida pun dapat menghasilkan 7-9 ton per
ha gabah kering.
Perkembangan Luas Areal Padi Hibrida
Di luar China, perkembangan luas areal padi hibrida dapat dikatakan lambat. Sejak
diperkenalkan pada tahun 1995-1996, total luas padi hibrida di tujuh negara asia (India,
Vietnam, Bangladesh, Mesir, Myanmar, Philippina dan Indonesia) baru mecapai sekitar
2 juta ha, atau kurang dari 2,5% dari total luasan tanaman padi seluas 85,4 juta ha. Di
China, yang telah menanam padi hibrida sejak tahun 1980-an arealnya konstan 15 juta
ha, atau hanya 50% dari total luasan tanaman padi di China. Memang, adopsi teknologi
selalu memakan waktu yang cukup lama. Namun khusus untuk padi hibrida nampaknya
terdapat hambatan adopsi teknologi yang cukup banyak, antara lain: (a) Harga benih
hibrida delapan kali lebih mahal dari harga benih non-hibrida, dinilai sangat mahal oleh
petani, (b) Tingkat heterosis hibrida padi tidak terlalu besar, tidak pasti, dan
produktivitasnya tidak jauh berbeda dengan varietas unggul padi non-hibrida, (c) Peka
terhadap hama-penyakit, menjadikan lebih riskan terhadap gagal panen, (d) Benih tidak
selalu tersedia pada saat musim tanam, dan (e) Petani kemungkinan belum memahami
teknologi penanaman padi hibrida. Petani pada umumnya akan ikut mengadopsi
teknologi baru setelah mereka yakin manfaat dan keuntungan dari teknologi baru.
Dari sisi penyediaan benih hibrida, perusahaan benih juga masih menemui banyak
masalah, seperti (a) produksi benih per ha masih rendah, baru memperoleh sekitar 1
ton/ha benih sehingga harga jual benih harus mahal, (b) sistem produksi benih hibrida
masih menggunakan tiga tetua (disebut tetua: mandul jantan, perawat, dan pemulih
kesuburan), yang menjadikan proses perbanyakan benih rumit, makan banyak tenaga
dan rawan terjadi campuran, (c) lokasi penangkaran benih yang terisolasi sulit diperoleh.
Di China, yang iklimnya lebih sesuai untuk persilangan padi, produksi benih padi
hibrida dapat mencapai 3,5 t/ha benih, yang berarti harga benih menjadi lebih murah.
Memperhatikan berbagai hal tersebut, nampaknya kontribusi kenaikan produksi dari
penanaman padi hibrida relatif masih sempit. Seperti pada pengenalan teknologi baru
lainnya, padi hibrida mungkin memerlukan tiga-empat tahun untuk dapat di”evaluasi”
oleh petani. Apabila pada tiga-empat tahun padi hibrida ternyata memberikan
keuntungan nyata, petani akan mengadopsinya, seperti halnya hibrida jagung. Jadi kita
musti sedikit bersabar dalam mengharapkan berkah dari padi hibrida.


Sumarno
Penulis adalah Profesor Riset bidang Pemuliaan Tanaman, Puslitbangtan
Dimuat dalam Tabloid Sinar Tani, 24 Oktober 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar